This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 02 Oktober 2012

Apa Artiku di Sini?

Gelapnya hidup selalu singgah di hati yang suram ini Selalu meneteskan peluh tangis di benakku Dimana aku masih termenung dalam masalah tak berujung Terang masih terus berlari menjauh dariku Hidup memang batu yang terbuang tak berarah Yang kan tersenyum karnanya Dan muran tersayat karnanya pula Penuh akan kerikil tajam menusuk langkah nan gontai Batu yang penuh coba untukku Batu yang mengajari kita apa arti hidup Pentingnya, apa sikap kita untuk menatap Menatap hari nan indah menanti kita di sana Dalam buta kalbu terbalut hasut Aku duduk temenung pada suatu yang tak jelas Buram, hanya terngiang akan sang waktu Di mana datangnya cinta sejatiku

PERJUANGAN DI BALIK KERUTAN

Tangisan Tajib kecil terdengar tepat tahun 1928. Namun, di antara seribu kerutan di wajahnya, tak pernah mematahkan genderang semangat di benak sosok lelaki tua ini. Alunan cengkok khas besut masih terdengar layaknya nyanyian burung camar merasuk menusuk tiap – tiap jiwa yang mendengarnya. Beliaulah, MBAH TAJIB, seorang seniman besut yang masih mendendangkangkan kidung yang biasa ia pamerkan semasa berdiri pada panggung pentas dulu. Apa besutan itu? Mungkin itulah secercah kata yang bisa anak – anak seperti kita lontarkan. Ya, sungguh tragis nasib jerih payah para pendiri atas BESUTAN. Kini beliaunya yang terbelakang. Sesosok kakek tua yang masih gigih walau perih dalam setiap tetes keringatnya. “Sebenarnya, kalau disuruh bermain besut lagi saya tidak kuat, saya juga tidak lagi memikirkan bagaimana besutan di Jombang ini. Apalagi saya sering prihatin anak jaman sekarang bandel – bandel semua. Tidak ada yang mau meneruskan budaya ini. Minat saja tidak ada, bagaimana mau bermain.”, tutur Mbah Tajib jika ditanya soal nasib si besut. Lelah dan Letih ! Hanya itu yang terlihat di wajah sang bintang, bercampur dengan rasa kecewa akan punahnya budaya besutan yang dulu begitu ia perjuangkan. Siapa sebenarnya sosok kakek tua ini? Di balik keriput wajahnya, beliaulah sang bintang di pentas besut beberapa waktu silam. Beliau merajut satu demi satu benang kejayaan BESUT JOMBANG. Memang tak terlihat, tapi perjuangan beliau adalah cikal bakal besutan di Jombang yang perlu diperhitungkan semua pihak. Jatuh bangun yang beliau rasakan dibalaskan dengan cemooh dan punahnya budaya besut. Sungguh pahlawan kebudayaan yang perlu kita acungi jempol yang tak terhingga. Beliau dan lingkungannya, lingkungan besut telah menyatu bagaikan Hidrogen dan Oksigen pada Air. Ya, dulu beliau disanjung oleh seluruh halayak. Sekarang, apa? Hanya dukungan dan sanjungan keluarga serta kerabat menjadi hiburan di kala perih dan obat di kala luka. Sang pahlawan, terus kibarkan kiprahmu! Kau yang telah menorehkan tetes tinta pertama pada kebudayaan khas Jombang, BESUTAN.